Warga Mulai Meninggalkan BPJS Kesehatan,Cukup Pakai KTP dan KK Saat Berobat, Semua Karena Iuran Naik
Itu berlaku di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan ( Sumsel ).
Pemerintah Kabupaten atau Pemkab Lahat, Sumsel tak lagi pakai BPJS Kesehatan untuk melayani warganya berobat.
Pemkab Lahat mulai tahun ini beralih menggunakan layanan berobat gratis.
Jadi warga cukup menggunakan KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Wakil Bupati Lahat, Haryanto membenarkan masyarakat Lahat yang ingin berobat cukup menggunakan KTP dan KK.
Bahkan meskipun tidak menggunakan BPJS Kesehatan, bagi masyarakat yang terpaksa rawat jalan ke RSMH Palembang juga tetap bisa menggunakan KTP dan KK.
"Walau harus dirujuk ke Palembang, juga bisa. Nanti ada petugas yang kita tunjuk yang mengurusnya. Jadi nanti RS rujukan, langsung klaim ke Pemkab Lahat," ujar Haryanto, Jumat (3/1/2020).
Dari data Dinas Kesehatan Lahat, setidaknya tahun 2018 ada 168.385 jiwa terdaftar dalam BPJS Kesehatan.
Tahun 2019, jumlah tersebut meningkat hingga 200 ribu jiwa.
Dengan biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 46 miliar.
Angka tersebut dipastikan membengkak jika program berobat gratis menggunakan BPJS Kesehatan.
"Kalau menggunakan KTP dan KK, cukup bagi yang sakit saja yang kita bayar. Kalau selama ini kan, warga yang sakit atau tidak, kita harus bayar iuran. Lebih baik uang tersebut kita gunakan untuk keperluan lain masyarakat," ucap Haryanto.
Kepala BPJS Palembang, Iwan mengatakan Kabupaten Lahat masuk dalam wilayah tugas BPJS Lubuklinggau sehingga bukan kapasitasnya mengomentari terkait mundurnya Pemkab Lahat dari keanggotan BPJS.
"Lahat itu bukan wilayah Palembang tapi sudah masuk kantor cabang Lubuklinggau," ujarnya singkat.
Kepala BPJS Lubuklinggau, Eka Susilawati saat akan dikonfirmasi enggan berkomentar.
"Saya no comment masalah itu. Jangan diperkeruh dulu. Silakan konfirmasi kepada BPJS Palembang, Senin saya akan bertemu dulu dengan pak gubernur," katanya singkat.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memastikan tetap menjamin pembayaran Peserta BPJS Kesehatan (JKN-KIS) Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang berasal dari alokasi APBD Provinsi Sumatera Selatan di tahun ini.
Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru mengatakan, sudah menjadi kewajibannya menyiapkan anggaran untuk pembayaran tersebut meski ada kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020.
"Kita akan kaji dan upayakan ini, karena saya ingin masyarakat Sumsel sehat dengan fasilitas yang memadai. Walaupun anggaran tidak bertambah tapi ini harus tetap jalan, jangan sampai pelayanan kesehatan warga Sumsel terganggu," ujarnya, Jumat (3/1/2020)
Namun demikian, gubernur mewanti-wanti khususnya dinas sosial agar memastikan bahwa peserta penerima benar-benar tepat sasaran.
Jangan sampai mereka yang benar-benar berhak justru tidak mendapatkan PBI atau BPJS yang dibayarkan oleh Pemerintah.
Ia pun meminta agar BPJS memberikan pelayanan yang sama bagi penerima ini dengan peserta BPJS mandiri.
"Saya minta pelayanan bagi peserta ini benar-benar diutamakan. Karena sesuai kontraknya ini kita bayar langsung setahun. Ini dilanjutkan dulu jangan mandek, sambil kita bahas lagi bersama," tuturnya
Rincian Kenaikan
Per 1 Januari 2020, iuran Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi naik.
Iuran BPJS Kesehatan naik untuk menambal defisit yang makin membesar.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019.
Kenaikan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) tersebut untuk seluruh segmen peserta BPJS:
1. Penerima Bantuan Iuran (PBI), iuran naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 per jiwa.
Besaran iuran ini juga berlaku bagi Peserta yang didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD). Iuran PBI dibayar penuh oleh APBN, sedangkan Peserta didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD) dibayar penuh oleh APBD.
2. Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P), yang terdiri dari ASN/TNI/Polri,
Semula besaran iuran adalah 5% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga, dimana 3% ditanggung oleh Pemerintah dan 2% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan, diubah menjadi 5% dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi, dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS Daerah, dengan batas sebesar Rp 12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemerintah dan 1% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan.
3. Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU),
Semula 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 8 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1% ditanggung oleh Pekerja, diubah menjadi 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1% ditanggung oleh Pekerja.
4. Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU)/Peserta Mandiri:
Kelas 3: naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa;
Kelas 2: naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per jiwa;
Kelas 1: naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per jiwa.
Defisit neraca BPJS Kesehatan yang makin membesar menjadi dasar pemerintah menaikkan iuran BPJS.
Catatan Kementerian Keuangan, sejak tahun 2014, program JKN terus mengalami defisit. Besaran defisit JKN sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah masing-masing sebesar Rp 1,9 triliun (2014), Rp 9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016), Rp 13,8 triliun (2017), dan Rp 19,4 triliun (2018).
Dalam rangka membantu mengatasi defisit ini, pemerintah melakukan intervensi dengan memberikan Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp 5 triliun (pada tahun 2015) dan Rp 6,8 triliun (2016), serta memberikan bantuan belanja APBN sebesar Rp 3,6 triliun (2017) dan Rp 10,3 triliun (2018).
Intervensi pemerintah dalam bentuk PMN maupun bantuan belanja APBN itu sendiri belum dapat menutup keseluruhan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, sehingga masih menyisakan defisit sebesar Rp 1,9 triliun (2014), Rp 4,4 triliun (2015), Rp 10,2 triliun (2017), dan Rp 9,1 triliun (2018).
Tanpa kenaikan iuran, besaran defisit DJS Kesehatan akan terus naik, diperkirakan akan mencapai Rp 32 triliun di tahun 2019, Rp 44 triliun (2020), Rp 56 triliun (2021), dan Rp 65 triliun (2022)